Sejak
lama, Indonesia sudah dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan alam yang
melimpah. Tapi, besarnya kekayaan alam baru sebagaian kecil yang dinikmati
secara langsung oleh petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian. Tidak
saja karena petani masih berada dalam posisi tawar yang rendah dibanding pelaku
agrobisnis lain, tetapi disebabkan karena mereka menjual produknya dalam bentuk
bahan mentah dan atau bahan baku. Belum memiliki nilai tambah.
Singkong yang juga dikenal sebagai ketela pohon atau ubi
kayu merupakan pohon tahunan tropika dan subtropika dari keluarga
Euphorbiaceae. Di Indonesia sendiri tingkat popularitas singkong sebagai
makanan pokok masih terkalahkan oleh beras yang sampai saat ini menjadi makanan
pokok mayoritas masyarakat Indonesia. Ini membuat singkong
sering dipandang sebelah mata oleh beberapa kalangan. Singkong tidak memiliki
nilai jual yang tinggi.
Indonesia adalah negara yang sangat
mendukung untuk pengembangan budidaya siongkong. Tapi itu tetap tidak berarti
apa-apa jika tidak ada nilai yang lebih untuk singkong. Masyarakat sekarang
cenderung tertarik pada produk pangan yang praktis dalam penyajiannya, dan
terkesan lebih modern, seperti produk mie, roti, makanan ringan, baby foods dan
sebagainya. Perubahan pola konsumsi makanan (food habit) ini menyebabkan kebutuhan akan bahan pangan berbasis
tepung-tepungan meningkat pesat, salah satunya yang paling besar konsumsinya
adalah tepung terigu. Belakangan mulai diperkenalkan mocaf (modified cassava
flour), produk tepung yang merupakan olahan dari singkong yang diunggulkan dapat
sebagai pengganti tepung terigu yang keberadaannya semakin mahal.
Mocaf,
sebagai produk agroindustri tentu saja pengembangannya sangat mendukung di
Indonesia. Bahan baku, singkong, sangat mudah ditemukan di berbagai penjuru
Indonesia. Ini karena tanaman singkong dapat tumbuh di lahan seperti apapun,
lahan kritis sekalipun. Hal ini mendukung akan kontinuitas ketersediaan bahan
baku mocaf dalan kuantitas yang dibutuhkan.
Prinsip dasar pembuatan
tepung mocaf adalah memodifikasi sel ubi kayu secara fermentasi. Mikroba yang
tumbuh akan menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat
menghancurkan dinding sel ubi kayu sedemikian rupa sehingga terjadi liberasi
granula pati. Proses liberalisasi ini akan menyebabkan perubahan karakteristik
dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya
rehidrasi, dan kemudahan melarut.
Selanjutnya granula
pati tersebut akan mengalami hidrolisis yang menghasilkan monosakarida sebagai
bahan baku untuk menghasilkan asam-asam organik. Senyawa asam ini akan
terimbibisi dalam bahan dan ketika bahan tersebut diolah akan dapat
menghasilkan aroma dan cita rasa khas yang dapat menutupi aroma dan cita rasa
ubi kayu yang cenderung tidak menyenangkan konsumen.
Selama proses
fermentasi terjadi pula penghilangan komponen penimbul warna seperti pigmen
(khususnya pada ketela kuning) yang dapat menyebabkan warna cokelat ketika
pemanasan. Dampaknya adalah warna mocaf yang dihasilkan lebih putih jika
dibandingkan dengan warna tepung ubi kayu biasa.Selain itu,proses ini akan
menghasilkan tepung yang secara karakteristik dan kualitas hampir menyerupai
tepung dari terigu.Produk mocaf sangat cocok menggantikan bahan terigu untuk
kebutuhan industri makanan.
Kondisi saat ini
menunjukkan bahwa produk mocaf secara ekonomis ternyata jauh lebih murah
daripada produk terigu yang selama ini beredar di pasaran.Bahan baku yang mudah
dibudidayakan, harga ubi kayu di pasaran yang murah, serta proses pengolahan
tepung yang tidak memerlukan teknologi tinggi membuat harga mocaf saat ini
hanya berkisar antara 40–60% dari harga terigu.
Sebagai
produk olahan singkong, tentu saja mocaf mempunyai nilai jual yang jauh
daripada nilai jual singkong yang dijual dalam keadaan mentah. Per kilogramnya,
mocaf dijual engan harga Rp5.500,-, berkali lipat dengan harga singkong
perkilogramnya.
Demi
berkembangnya mocaf ini sebagai salah satu produk agroindustri, untuk
pengembangannnya mocaf sudah mendapat dukungan dari pemerintah. Ini tertuang
dalam komitmen pemerintah dalam mengembangkan pangan nonberas, melalui berbagai
kebijakan seperti mendorong diversifikasi pola konsumsi berbasis pangan lokal;
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap keanekaragaman
pangan; dan mendorong pengembangan teknologi pengolahan pangan non beras dan
non terigu. Adapun beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk
mendorong industrialisasi mocaf antara
lain berupa pemberikan stimulus pengembangan tepung-tepungan pada usaha kecil
bidangpangan; sosialisasi, advokasi dan pembinaan peningkatan pemanfaatan
pangan lokal melalui tepung-tepungan; pemberian peralatan pengolahan
tepung-tepungan kepada usaha kecil bidang pangan dalam upaya meningkatkan
produktivitas dan mutu tepung yang dihasilkan; mendorong keterlibatan perguruan
tinggi dalam meneruskan sosialisasi dan pengembangan teknologi tepung-tepungan;
dan terus mengupayakan pencitraan tepung cassava menjadi tepung nasional.
Dengan
adanya mocaf yang bisa menjadi pengganti tepung terigu tentu saja ini
memperkaya keragaman makanan Indonesia yang dapat memperbaiki status gizi
masyarakat dengan harga yang lebih terjangakau karena status gizi seseorang
akan semakin baik ketika makanan yang dikonsumsinya semakin beragam.
No comments:
Post a Comment