Halaman

Sunday, March 24, 2013

Honor 200 Ribu


Andini pulang ke rumah kontrakannya dengan muka lelah. Setelah menaruh tas di kamar dan mengganti pakaiannya, ia segera mengambil air wudlu untuk segera sholat dzuhur. Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan hampir pukul setengah dua. Selesai mengajar tadi ada wali murid yang menemuinya sehingga baru pukul satu lebih ia pulang dari sekolah.
Selesai sholat dan makan Andini membuka tasnya untuk memasukkan nili ulangan murid-muridnya yang ia bawa ke rumah. Andini sebenarnya tidak suka membawa pekerjaan sekolah ke rumah. Kalau terbawa harus ia bawa ke rumah, akan ia bereskan di siang hari setelah istirahat sebentar sehingga di malam hari bisa lebih santai menghabiskan waktu bersama suaminya.

Ketika membuka tasnya, Andini menemukan amplop coklat, honor ia mengajar bulan kemarin. Andini membuka amplop tersebut, melihat isinya, Rp 200.000,00, ia sudah tahu honornya memang sejumlah itu, lalu kenapa kali ini ia mengharapkan lebih. Ini adalah bulan ketujuh. Andini mengajar di SD dekat rumahnya sebagai guru wiyata bhakti. Sebenarnya Andini merasa honor yang diterimanya sangat tidak sebanding dengan kerjanya sebagai guru wali kelas dan masih merangkap sebagai guru Matematika di satu kelas lain.
Andini teringat semasa kuliah dulu ia terbiasa memberi les privat dan mengajar di salah satu bimbel yang cukup besar di Solo. Dalam sebulan ia bisa memperoleh uang hampir tiga kali lipat dari honor mengajarnya di SD sekarang, tentu saja dengan waktu kerja yang lebih sedikit.
Sebenarnya Andini tidak pernah merasa kekurangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya. Gaji Faiz suaminya sebagai apoteker di apotek daerah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup berdua, membayar kontrakan rumah, menabung bahkan memberi kedua orangtuanya setiap bulan meski tidak banyak. Ditambah Andini memang mempunyai self control yang baik dalam mengatur keuangan rumah tangganya.
Andini hanya merasa apa yang dilakukannya tidak sebanding dengan yang didapatkan. Pergi pagi, pulang siang, full mengajar, membuat RPP, koreksi ulangan, memasukkan nilai, belum lagi kalau ada wali murid yang bermasalah. Berbeda ketika hanya mengajar di bimbel. Dia hanya perlu menyiapkan materi, mengajar dan sesekali menemani murid konsultasi jika masih ada kesulitan.
Pernah suatu ketika, Mbak Yuli sepupu Faiz suaminya menawarinya untuk mengajar di SDIT. Meski pulang lebih sore tapi gaji mengajar di sana jelas lebih besar. Andini hampir menerima tawaran itu. Lumayan pikirnya, toh juga sama capeknya tapi yang didapatkan lebih banyak. Sayangnya Faiz tidak mengizinkan.
 “Mas pengen kalau pulang kerja ada Adek di rumah,” ucap suaminya ketika itu memberi alasan.
Faiz memang tipe suami family man. Selesai kerja langsung pulang ke rumah dan tidak pernah keluyuran. Kalau ada acara misal berkunjung ke rumah teman atau kajian ia akan pulang terlebih dahulu dan tidak jarang mengajak Andini ikut serta.
Hmm, Andini kembali melihat amplop coklat berisi honornya tadi. Ia kembali berfikir untuk berhenti dan mencari pekerjaan lain. Atau bukankah akan lebih baik kalau dia berdagang, buka warung. Belum ada warung kelontong di sekitar perumahan tempat tinggalnya. Ia bisa tetap di rumah seperti yang diinginkan suaminya.
Andini menghela nafas, kenapa ia berfikir sejauh itu. Ia kembali kepada pekerjaannya memasukkan nilai ulangan murid-muridnya ke buku nilai.  Untuk masalah berhenti dari mengajar mungkin nanti akan ia bicarakan dengan suaminya. Mungkin Faiz bisa memberikan pendapat pikirnya. Faiz memang jauh lebih dewasa dari Andini meski usianya hanya terpaut satu tahun. Mungkin karena Faiz anak pertama yang sejak kecil mempunyai naluri  “ngemong” cukup besar.


Pukul setengah 8 Faiz pulang dari masjid. Ia melihat ada tamu di rumahnya. Memasuki pintu pagar ia mendengar dua suara anak perempuan. Pasti itu Retno dan Ana. Anak tetangganya yang duduk kelas II SMP yang senang belajar dengan Andini istrinya.  Ia pun mengucapkan salam dan memasuki rumah dan langsung masuk ke dalam.
Ia bersyukur Andini cepat akrab dengan tetangga sekitar, ibu-ibu ataupun anak kecil sekitar rumah.  Meskipun terkadang istrinya mengaku sering malas untuk kumpul-kumpul dengan ibu-ibU. Males ikutan ngegosip katanya ketika Faiz bertanya kenapa tidak ikut arisan RT/RW setempat. Kalau sudah begitu Faiz hanya tersenyum. Andini bisa betah tinggal di kota kecil seperti ini saja Faiz sudah bersyukur. Kadang ada anak-anak tetangganya yang main ke rumah, entah hanya untuk meminjam koleksi buku Andini yang memang banyak atau minta bantuan karena kesulitan dengan tugas sekolah.
 Jam Sembilan kurang Retno dan Ana sudah berpamitan pulang. Usai menutup pintu pagar dan rumah Andini duduk di samping Faiz ikut menemani mononton TV.
“Mas, mau jeruk? Adek tadi beli jeruk lho,” ucap Andini membuka pembicaraan.
“Nggak ah dek, Mas kenyang,” jawab Faiz sambil tersenyum.
“Gimana tadi Retno minta ajarin PR lagi?” tanya Faiz ingin tahu.
“Nggak kok Mas, cuma belajar aja, besok mereka mau ulangan.”
“Oh, gitu,” jawab Faiz pendek.
“Lucu deh Mas mereka itu, kadang belagu banget,” ucap Andini sambil tertawa kecil.
“Belagu gimana?”
“Iya belagu. Khas ABG sih. Kadang kalau bingung ngerjain soal mereka tanya, “Mbak ini gimana caranya? Terus pas udah diajarin nanti mereka bilang “owalah, cuma gini  toh caranya, ga ada soal yang lebih susah lagi apa Mbak.” Hahaha, belagu kan?,” Andini tertawa mengingat tingkah anak-anak tetangganya.
“Hahaha,” Faiz ikut tertawa mendengar cerita.
Mereka kembali focus dengan acara di layar televisi.
Setengah jam kemudian ketika sudah bosan menonton TV mereka memutuskan untuk masuk kamar dan beristirahat.
“Mas...”
Ketika sudah di tempat tidur tiba-tiba Andini memanggil suaminya.

“Kenapa Dek?” Faiz merasa Andini ingin membicarakan sesuatu.
“Mas, kalau adek berhenti ngajar menurut Mas gimana?”
Benar batin Faiz. “Berhenti ngajar? Kenapa memangnya?” Faiz balik bertanya.
“Ya gapapa, habis gajinya kecil, kerjanya capek. Adek males aja jadinya.”
“Oh, itu masalahnya. Mas sih terserah Adek, Kan Mas ngebolehin Adek ngajar juga bukan untuk gaji, tapi biar bisa mengamalkan ilmu.”
“Hmm, gitu Mas?”
“Iya. Kalau Mas rasa Adek juga nggak bermasalah tentang gaji, dulu waktu Bapaknya Retno bilang biar Adek ngajar privat juga Adek nolak kan, takut teman-temannya yang lain jadi nggak enak kalau belajar di sini.”
“Iya Mas, takutnya yang lain pada ikut-ikutan minta gitu ke orangtuanya. Kan nggak semuanya dari keluarga berada.”
“Kalau menurut Mas, Adek lagi jenuh aja. Terlalu capek, akhir-akhir ini kayaknya sering bawa kerjaan sekolah ke rumah kan. Toh dari awal Adek tahu kan sekolah memang cuma bisa ngasih honor segitu.”
“Iya Mas,”  Andini mengiyakan apa yang dikatakan suaminya. Mungkin benar yang Faiz katakan, ia hanya jenuh. Kenapa pikiranhya begitu dangkal. Ingin berhenti mengajar karena honor uang kecil. Kemana idealismenya dulu ketika masih menjadi mahasiswa. Belum ada dua tahun ia meninggalkan dunia kampus.
“Hmm, ya udah sekarang Adek istirahat aja, besok minggu kita jalan-jalan.”
“Iya Mas. Makasih ya Mas,” ujar Andini tersenyum tersipu kemudian bergelung ke dalam pelukan Faiz. Faiz hanya membelai kepala Andini sembari menatap wajah istrinya yang mulai terpejam dan ikut tersenyum. Bagaimana bisa ia masih sering mendapati Andini bersemu merah di sekujur kulitnya padahal sudah berkali-kali ia sentuh. Ini yang terkadang membuatnya seringkali merindukan Andini meskipun istrinya berada dalam pelukannya sekalipun.  
Tidak lama kemudian disadarinya pundak Andini berubah santai dan nafasnya mulai teratur pelan. Istrinya sudah tertidur. Faiz mengatur posisinya dengan lebih nyaman. Mengecup kening Andini kemudian ikut memejamkan mata. 




Pondok Laras
24/3/2013
18.11

No comments:

Post a Comment