Andini
pulang ke rumah kontrakannya dengan muka lelah. Setelah menaruh tas di kamar
dan mengganti pakaiannya, ia segera mengambil air wudlu untuk segera sholat
dzuhur. Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan hampir pukul setengah dua. Selesai
mengajar tadi ada wali murid yang menemuinya sehingga baru pukul satu lebih ia
pulang dari sekolah.
Selesai
sholat dan makan Andini membuka tasnya untuk memasukkan nili ulangan
murid-muridnya yang ia bawa ke rumah. Andini sebenarnya tidak suka membawa
pekerjaan sekolah ke rumah. Kalau terbawa harus ia bawa ke rumah, akan ia
bereskan di siang hari setelah istirahat sebentar sehingga di malam hari bisa
lebih santai menghabiskan waktu bersama suaminya.
Ketika
membuka tasnya, Andini menemukan amplop coklat, honor ia mengajar bulan
kemarin. Andini membuka amplop tersebut, melihat isinya, Rp 200.000,00, ia
sudah tahu honornya memang sejumlah itu, lalu kenapa kali ini ia mengharapkan
lebih. Ini adalah bulan ketujuh. Andini mengajar di SD dekat rumahnya sebagai
guru wiyata bhakti. Sebenarnya Andini merasa honor yang diterimanya sangat
tidak sebanding dengan kerjanya sebagai guru wali kelas dan masih merangkap
sebagai guru Matematika di satu kelas lain.
Andini
teringat semasa kuliah dulu ia terbiasa memberi les privat dan mengajar di
salah satu bimbel yang cukup besar di Solo. Dalam sebulan ia bisa memperoleh
uang hampir tiga kali lipat dari honor mengajarnya di SD sekarang, tentu saja dengan
waktu kerja yang lebih sedikit.
Sebenarnya
Andini tidak pernah merasa kekurangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga
kecilnya. Gaji Faiz suaminya sebagai apoteker di apotek daerah lebih dari cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup berdua, membayar kontrakan rumah, menabung
bahkan memberi kedua orangtuanya setiap bulan meski tidak banyak. Ditambah Andini
memang mempunyai self control yang
baik dalam mengatur keuangan rumah tangganya.
Andini
hanya merasa apa yang dilakukannya tidak sebanding dengan yang didapatkan.
Pergi pagi, pulang siang, full mengajar, membuat RPP, koreksi ulangan,
memasukkan nilai, belum lagi kalau ada wali murid yang bermasalah. Berbeda
ketika hanya mengajar di bimbel. Dia hanya perlu menyiapkan materi, mengajar
dan sesekali menemani murid konsultasi jika masih ada kesulitan.
Pernah
suatu ketika, Mbak Yuli sepupu Faiz suaminya menawarinya untuk mengajar di
SDIT. Meski pulang lebih sore tapi gaji mengajar di sana jelas lebih besar.
Andini hampir menerima tawaran itu. Lumayan pikirnya, toh juga sama capeknya
tapi yang didapatkan lebih banyak. Sayangnya Faiz tidak mengizinkan.
“Mas pengen kalau pulang kerja ada Adek di
rumah,” ucap suaminya ketika itu memberi alasan.
Faiz
memang tipe suami family man. Selesai
kerja langsung pulang ke rumah dan tidak pernah keluyuran. Kalau ada acara
misal berkunjung ke rumah teman atau kajian ia akan pulang terlebih dahulu dan
tidak jarang mengajak Andini ikut serta.
Hmm,
Andini kembali melihat amplop coklat berisi honornya tadi. Ia kembali berfikir
untuk berhenti dan mencari pekerjaan lain. Atau bukankah akan lebih baik kalau
dia berdagang, buka warung. Belum ada warung kelontong di sekitar perumahan
tempat tinggalnya. Ia bisa tetap di rumah seperti yang diinginkan suaminya.
Andini
menghela nafas, kenapa ia berfikir sejauh itu. Ia kembali kepada pekerjaannya memasukkan
nilai ulangan murid-muridnya ke buku nilai. Untuk masalah berhenti dari mengajar mungkin
nanti akan ia bicarakan dengan suaminya. Mungkin Faiz bisa memberikan pendapat
pikirnya. Faiz memang jauh lebih dewasa dari Andini meski usianya hanya terpaut
satu tahun. Mungkin karena Faiz anak pertama yang sejak kecil mempunyai naluri “ngemong”
cukup besar.
Pukul
setengah 8 Faiz pulang dari masjid. Ia melihat ada tamu di rumahnya. Memasuki
pintu pagar ia mendengar dua suara anak perempuan. Pasti itu Retno dan Ana.
Anak tetangganya yang duduk kelas II SMP yang senang belajar dengan Andini
istrinya. Ia pun mengucapkan salam dan
memasuki rumah dan langsung masuk ke dalam.
Ia
bersyukur Andini cepat akrab dengan tetangga sekitar, ibu-ibu ataupun anak
kecil sekitar rumah. Meskipun terkadang
istrinya mengaku sering malas untuk kumpul-kumpul dengan ibu-ibU. Males ikutan
ngegosip katanya ketika Faiz bertanya kenapa tidak ikut arisan RT/RW setempat.
Kalau sudah begitu Faiz hanya tersenyum. Andini bisa betah tinggal di kota
kecil seperti ini saja Faiz sudah bersyukur. Kadang ada anak-anak tetangganya
yang main ke rumah, entah hanya untuk meminjam koleksi buku Andini yang memang
banyak atau minta bantuan karena kesulitan dengan tugas sekolah.
Jam Sembilan kurang Retno dan Ana sudah
berpamitan pulang. Usai menutup pintu pagar dan rumah Andini duduk di samping
Faiz ikut menemani mononton TV.
“Mas,
mau jeruk? Adek tadi beli jeruk lho,” ucap Andini membuka pembicaraan.
“Nggak
ah dek, Mas kenyang,” jawab Faiz sambil tersenyum.
“Gimana
tadi Retno minta ajarin PR lagi?” tanya Faiz ingin tahu.
“Nggak
kok Mas, cuma belajar aja, besok mereka mau ulangan.”
“Oh,
gitu,” jawab Faiz pendek.
“Lucu
deh Mas mereka itu, kadang belagu banget,” ucap Andini sambil tertawa kecil.
“Belagu
gimana?”
“Iya
belagu. Khas ABG sih. Kadang kalau bingung ngerjain soal mereka tanya, “Mbak
ini gimana caranya? Terus pas udah diajarin nanti mereka bilang “owalah, cuma
gini toh caranya, ga ada soal yang lebih
susah lagi apa Mbak.” Hahaha, belagu kan?,” Andini tertawa mengingat tingkah
anak-anak tetangganya.
“Hahaha,”
Faiz ikut tertawa mendengar cerita.
Mereka
kembali focus dengan acara di layar televisi.
Setengah
jam kemudian ketika sudah bosan menonton TV mereka memutuskan untuk masuk kamar
dan beristirahat.
“Mas...”
Ketika
sudah di tempat tidur tiba-tiba Andini memanggil suaminya.
“Kenapa
Dek?” Faiz merasa Andini ingin membicarakan sesuatu.
“Mas,
kalau adek berhenti ngajar menurut Mas gimana?”
Benar
batin Faiz. “Berhenti ngajar? Kenapa memangnya?” Faiz balik bertanya.
“Ya
gapapa, habis gajinya kecil, kerjanya capek. Adek males aja jadinya.”
“Oh,
itu masalahnya. Mas sih terserah Adek, Kan Mas ngebolehin Adek ngajar juga
bukan untuk gaji, tapi biar bisa mengamalkan ilmu.”
“Hmm,
gitu Mas?”
“Iya.
Kalau Mas rasa Adek juga nggak bermasalah tentang gaji, dulu waktu Bapaknya
Retno bilang biar Adek ngajar privat juga Adek nolak kan, takut teman-temannya
yang lain jadi nggak enak kalau belajar di sini.”
“Iya
Mas, takutnya yang lain pada ikut-ikutan minta gitu ke orangtuanya. Kan nggak
semuanya dari keluarga berada.”
“Kalau
menurut Mas, Adek lagi jenuh aja. Terlalu capek, akhir-akhir ini kayaknya
sering bawa kerjaan sekolah ke rumah kan. Toh dari awal Adek tahu kan sekolah
memang cuma bisa ngasih honor segitu.”
“Iya
Mas,” Andini mengiyakan apa yang
dikatakan suaminya. Mungkin benar yang Faiz katakan, ia hanya jenuh. Kenapa pikiranhya
begitu dangkal. Ingin berhenti mengajar karena honor uang kecil. Kemana idealismenya
dulu ketika masih menjadi mahasiswa. Belum ada dua tahun ia meninggalkan dunia
kampus.
“Hmm,
ya udah sekarang Adek istirahat aja, besok minggu kita jalan-jalan.”
“Iya
Mas. Makasih ya Mas,” ujar Andini tersenyum tersipu kemudian bergelung ke dalam
pelukan Faiz. Faiz hanya membelai kepala Andini sembari menatap wajah istrinya
yang mulai terpejam dan ikut tersenyum. Bagaimana bisa ia masih sering
mendapati Andini bersemu merah di sekujur kulitnya padahal sudah berkali-kali
ia sentuh. Ini
yang terkadang membuatnya seringkali merindukan Andini meskipun istrinya berada
dalam pelukannya sekalipun.
Tidak
lama kemudian disadarinya pundak Andini berubah santai dan nafasnya mulai
teratur pelan. Istrinya sudah tertidur. Faiz mengatur posisinya dengan lebih
nyaman. Mengecup kening Andini kemudian ikut memejamkan mata.
Pondok Laras
24/3/2013
18.11
No comments:
Post a Comment