Halaman

Sunday, January 20, 2013

Cerpen: KUNJUNGAN MERTUA


Hari libur yang cerah. Aku dan Mas Faiz suamiku tidak ada rencana pergi kemana-mana hari ini. Biasanya kami memanfaatkan hari Minggu seperti ini untuk berkunjung bersama ke rumah mertuaku di daerah Banyurip. Hari ini kami memang merencanakan untuk istirahat di rumah, setelah beberapa pekan terakhir berturut-turut ada undangan pernikahan rekan di luar kota saat hari Minggu. Dan untuk mengunjungi Ibu mertua kami sudah merencanakan hari Senin bersamaan dengan libur cuti bersama.

Jam setengah tujuh, selesai mencuci motor dan sarapan bersama Mas Faiz menonton tayangan berita di televisi sambil menyesap teh hangatnya ditemani beberapa biscuit. Aku sendiri sedang sibuk mewiwil tunas air pada krisan-krisan potku. Memang tidak mudah membudidayakan krisan di daerah dataran rendah seperti ini. Perlu ketelatenan untuk menyiram dan mewiwil tunas airnya jika ingin melihat bunganya tumbuh dan berkembang dengan baik. Tapi itu lebih baik daripada membiarkan halaman rumah kontrakanku yang sempit ini gersang tidak ada tanaman.

Selesai mewiwil aku hendak cuci tangan dan tiba-tiba terdengar suara salam.

“Assalamu’alaykum,”

“Wa’alaykumussalam,” jawabku dan Mas Faiz hampir bersamaan. Ternyata Ibu mertuaku.
Kulihat Mas Faiz keluar sambil membawa handuk. Mungkin tadi  sudah beranjak hendak mandi.

“Loh Ibu darimana datang kok nggak bilang-bilang, kan bisa Faiz jemput,” Mas Faiz langsung menyerang dengan pertanyaan.

“Ini tadi Ibu ikut senam sama ibu-ibu kelompok dawis di Lapangan Garnizun belakang kabupaten, pulangnya Ibu tidak ikut rombongan, mampir dulu ke Pasar Suronegaran terus Ibu kesini. Naik jalur 7 turun di Mranti.” Mertuaku menjawab dengan tenang.

“Ya kan bisa Faiz jemput Bu di Mranti, capek kan jalan, habis senam lagi,”

“Nggak apa-apa, enak jalan dari Mranti kesini pemandangannya sawah nggak melulu perumahan,” jawab Ibu mertuaku sambil memasuki rumah.

“Dini, ini tadi Ibu beli ayam kampung kesukaan Faiz, kamu masak ungkep aja ya,” Ibu mertuaku mengangsurkan bungkusan kersek hitam. “Ungkep??” tanyaku dalam hati sambil tetap menerima bungkusan kersek hitam itu. Agak berat batinku kalau isinya hanya ayam kampung. Aku membawa bungkusan itu ke dapur kemudian mebuatkan Ibu mertuaku minum.

Kembali ke ruang tamu ternyata Ibu mertuaku tidak ada, aku melongok keluar ternyata Ibu melihat tanaman-tanaman yang kutanam di pekarangan. “Minum dulu Bu,” tawarku mempersilakan.
Ibu mertuaku pun masuk dan meminum tehnya.

“Ibu sudah sarapan?”

“Sudah tadi kan juga dapat snack habis senam.”

“Din, nanti Ibu minta tomatmu ya!”

 “Iya Bu, ambil saja, cabainya sekalian. Sebentar Dini ambilkan wadah dulu.” Selain menanam krisan aku memang mencoba menanam tomat cerry dan cabai, walaupun yang tumbuh dan berbuah hanya cabai rawit karena tiap menanam cabai merah selalu mati.

Aku ke belakang mengambil wadah yang dibutuhkan Ibu untuk memanen tomat dan cabai. Alhamdulillah, meski hanya di tanam di polybag dengan media sekam, tomat dan cabaiku selalu berbuah banyak. Tidak jarang tetangga sebelah aku bagi. Saat kembali ke ruang tamu kulihat Mas Faiz sudah segar selesai mandi dan menemani Ibu menonton televisi.

 Aku mengangsurkan wadah ke Ibu kemudian langsung kembali ke dapur. Aku membuka bungkusan yang tadi diberikan Ibu. Benar dugaanku isinya tidak hanya ayam kampung tapi juga dua sisir pisang kepok. Aku mengeluarkan ayamnya dan menaruh kersek berisi pisang kepok itu di bawah. Dimasak apa tadi Ibu bilang? Ungkep?  Rasanya aku belum pernah tahu olahan ayam kampung ungkep itu seperti apa.

Aku memang jarang masak. Sehari-hari kami beli sayur dan lauk, hanya nasi yang masak sendiri. Sesekali saat libur saja aku masak. Tapi itu yang simpel saja. Jarang sekali masak ayam atau daging, toh Mas Faiz kurang suka ayam broiler. Sedangkan ayam kampung harus mencari di pasar atau harus pesan di tukang sayur. Pernah sekali aku beli ayam kampung. Aku masak opor, hanya itu yang aku tahu, biasanya ayam kampung dimasak opor saat lebaran. Resepnya aku cari di internet. Hasilnya, aku sendiri kurang suka karena alot, kurang lama memasaknya. Sejak saat itu kalau ingin makan ayam atau daging ya lebih baik beli matang saja. Dariapada beli mentah sudah mahal, capai mengolahnya namun hasilnya tidak enak dan enggan untuk memakannya.

Selesai mencuci ayam aku kembali berpikir apa itu ayam ungkep. Tanya ibu mertuaku aku malu. Searching aku sedang tidak langganan internet. Yah! Aku harus tanya Mama. Akupun masuk kamar mengambil HP, mumpung Ibu masih diluar pikirku. “Tuut...tuut... tuut...,” tidak diangkat. Pasti Mama sedang jauh dari HP. Sementara kudengar ibu mertuaku sudah masuk ruang tamu. Akupun segera mengambil bergo dan membawa kertas dan pulpen yang kukantongi di saku rok kemudian keluar kamar.

“Loh mau kemana Din?” tanya Ibu mertuaku.

“Ini Bu mau ke warung ada bumbu yang kurang,” jawabku ngeles, sebenarnya aku juga belum tahu bumbu apa saja yang dibutuhkan.

Keluar rumah aku langsung telpon ke nomor rumah. Di saat seperti ini aku merasa beruntung rumah kontrakanku adalah perumahan baru hasil peralihan lahan sawah yang dijadikan pemukiman.  Belakang dan depan rumahku masih sawah, hanya samping kanan kiri saja yang rumah. Saat aku menelpon sambil berjalan kearah warung yang menyediakan sayuran, jalanan sekitar cukup sepi jadi aku tidak malu telpon dijalanan. Menunggu sebentar dan alhamdulillah Mama yang langsung mengangkat.

“Mamaa..” seruku girang.

“Ya Din kenapa?” jawab Mamaku di seberang sana keheranan

“Ayam ungkep yang gimana si, bumbunya apa aja?

“Ayam ungkep ya ayam direbus bumbu sebelum digoreng, itu namanya diungkep biar bumbunya meresap, ga di freezer.”

“Terus habis direbus bumbu cuma digoreng?”

“Ya iya, memang kamu mau masak apa?”

“Ayam ungkep Ma,”

“Ya udah itu direbus bumbu terus nanti digoreng, tahu bumbunya nggak?”

“Nggak Ma, apa aja?”

“Ya garam, ketumbar, miri, kunyit, bawang putih, salam, sereh, lengkuas, jahe, dihalusin nanti kasih air dikit direbus sama ayamnya,” Mama menyebutkan bumbu yang biasanya ada di plastik bumbu pawon dan sedikit bumbu lain berikut porposinya untuk sekitar dua kilo ayam.

“Udah Ma gitu aja?” tanyaku tidak yakin. Kok sepertinya simpel sekali.

“Iya udah gitu. ”

“Oya udah, makasih ya Ma. Nanti Andin telpon lagi. Bye Mama,” jawabku sambil menutup telpon tanpa menunggu jawaban dari Mama.

Kalau cuma itu bumbunya sepertinya masih ada semua batinku. Walaupun jarang masak aku selalu punya persediaan yang lengkap. Tapi tadi aku bilang mau beli bumbu yang kurang. Akhirnya aku tetap ke warung untuk beli bumbu pawon yang mungkin di rumah sudah banyak yang kering dan minyak goreng kalau kurang.

Sekembalinya ke rumah kulihat Ibu mertuaku sedang membuka-buka majalah sedang Mas Faiz sibuk memegang remot mencari acara televisi yang menarik untuknya. Aku langsung menyiapkan bumbu dan memasaknya seperti yang disebutkan Mama tadi. Di warung tadi aku juga sempat membeli satu paket sayur asem.

Jam 11 aku sudah selesai masak nasi, menggoreng ayam, memasak sayur asem dan sambal terasi. Hanya tinggal cuci piring saja. Selesai menata di meja makan aku ke depan memanggil Ibu dan Mas Faiz untuk makan. Sekarang gantian Mas Faiz yang membaca koran sedang Ibu di luar ngobrol dengan tetangga sebelah. “Mas udah matang tuh, Ibu diajak makan,” ujarku kepada Mas Faiz seraya kembali ke dapur untuk mencuci peralatan masak.

Selesai mencuci peralatan masak Ibu sudah masuk ke ruang makan yang jadi satu dengan dapur. “Udah matengan Din?” tanya Ibu.

“Sudah Bu, mari makan,” ujarku melihat Mas Faiz menghampiri meja makan.

 “Kamu goreng ayamnya semua tadi?” tanya Ibu sambil mengambil sepotong dada ayam ke piring. Mas Faiz mengikuti.

“Nggak Bu, cuma sebagian aja,” jawabku sambil memerhatikan Ibu memasukkan suwiran daging ayam ke mulutnya. “Gimana Bu rasanya?” tanyaku agak takut.

“Ya, lumayan. Kurang asin dikit kalau untuk lauk.” Jawab Ibu mertuaku dengan nada wajar, tidak menampakkan kekecewaan.

“Enak kok!” tiba-tiba Mas Faiz menyambung sambil tersenyum ke arahku.

Apa aku tidak salah dengar? Mas Faiz bilang ayamnya enak? Selama 4 bulan menikah baru kali ini Mas Faiz bilang masakanku enak. Blushing :”>

“Iya Andini, Faiz kurang suka makanan bersantan, kalau ayam kampung lebih suka digoreng. Nanti kalau kamu misal pergi keluar kota urusan sekolah atau apa Faiz ditinggalin ayam ungkep aja, biar dia goreng sendiri.”

“Iya Bu,” jawabku patuh. Aku memang tahu Mas Faiz kurang suka makanan bersantan. Tapi kupikir hanya sebatas sayur seperti sayur lodeh atau bobor bayam. Tidak terpikir kalau lauk juga tidak suka, kulihat kalau makan rendang Mas Faiz biasa saja. Atau mungkin karena memang Mas Faiz tidak pernah mengeluh dengan makanan yang kusediakan.

Setelah makan dan sholat dzuhur Ibu berpamitan pulang. Ibu menolak ketika aku membawakan semua ayam yang sudah kugoreng. “Untuk kalian berdua saja Andini, Ibu di rumah sudah ada lauk,” ujar Ibu beralasan.
“Iya Bu, terimakasih,” jawabku sambil mengantar Ibu ke depan dan mencium tangannya.

Ibu naik di boncengan motor Mas Faiz. Mas Faiz mengantarnya ke alun-alun untuk mendapatkan angkutan umum ke Banyurip.

Ketika mas Faiz pulang dari mengantar Ibu aku telah selesai mencuci piring bekas makan dan hendak membereskan meja makan. Melihat itu Mas Faiz mencegahnya. “Jangan diberesin dulu Dek.”

“Mas mau makan lagi?”

 “Tadi mas belum makan pakai nasi, cuma gadoin ayam sama pakai sayur asem aja sedikit,” jawab suamiku beralasan sambil mencuci tangan.

“Masak sih?” tanyaku tidak percaya. “Kok tadi aku tidak memerhatikan ya,” batinku heran sambil tetap menuju rak piring untuk mengambilkan piring untuk suamiku.

“Iya,” jawabnya sambil tersenyum sembari mengambil nasi dari magic com dengan porsi seperti biasanya. Aku ikut duduk menemaninya makan.

“Tadi tuh Ibu sebenarnya udah mau pulang waktu Adek belum selesai masak, tapi Mas tahan, biar makan dulu. Makanya Mas tadi makannya belum pakai nasi biar cepat.”

Iya sih tadi Mas Faiz memang selesai duluan terus kemudian ke masjid seingatku. “Yah berarti tadi Adek masaknya kelamaan dong,” ujarku menyesal.

“Ya nggak apa-apa kan baru pertama,” jawabnya sambil tersenyum menenangkan.

“Dek enak loh ayamnya, rasanya pas teksturnya juga nggak keras kayak dulu,” ujarnya memuji.

“Iya tadi kan Mas udah bilang,” jawabku sambil mengulum senyum. *Blushing.

“Kok gak pernah sebelumnya masak kayak gini? Uang belanja yang Mas kasih cukup kan kalau sesekali beli ayam kampung?” tanyanya sambil tetap sibuk menyendok makanannya.

Aku cuma mengulum senyum sebagai jawaban. “Jangankan terpikir untuk buat, tahu namanya saja baru tadi,” batinku dalam hati.

“Cukup Mas. Adek nggak terpikir aja untuk buat kayak gini,” ujarku berlebihan, padahal cuma ayam goreng saja.

“Ya besok-besok lagi sempatin masak sendiri aja dek, pelan-pelan belajar, toh lebih enak kan,” jawabnya masih sambil tersenyum.

“Iya. Insya Allah Mas,” jawabku. Yup, ya wajarlah Mas Faiz jarang memuji masakanku, aku juga jarang masak apa yang mau dipuji. Sejak saat itu aku jadi bertekad untuk lebih sering belajar masak. Kupikir masak sendiri memang lebih melelahkan, tapi sangat terbayar puas ketika Mas Faiz suka dengan masakanku.  Apalagi kalau setelah itu dia bilang, “Dek, boleh nambah?” #eaaaaaa :D


Untuk mendapatkan hati seorang pria kadangkala kita tidak perlu menggenggam hatinya, tapi lebih pada perut mereka. (Chie chan's friend, Hungry-2012)

Minggu yang cerah, :)
Pondok Laras
20/1/2012  8.51 




4 comments:

  1. ngeblog asyik juga ya... hanya dengan makanan? ckckck he

    ne banyak banget gadgetnya caranya gmn y?

    ReplyDelete
  2. hah maksudny hanya dengan makanan?
    d tataletak mas. jd klo udah log in, nnti dkanan atas ada desain d klik trs nnti ada tata letak.

    ReplyDelete
  3. itu cerpennya.. dengan makanan he

    ok2.. bisa dicoba

    ReplyDelete
  4. bru ngeh... dapat kolam ikan ma ikannya :D

    ReplyDelete