Hari libur yang cerah.
Aku dan Mas Faiz suamiku tidak ada rencana pergi kemana-mana hari ini. Biasanya
kami memanfaatkan hari Minggu seperti ini untuk berkunjung bersama ke rumah
mertuaku di daerah Banyurip. Hari ini kami memang merencanakan untuk istirahat
di rumah, setelah beberapa pekan terakhir berturut-turut ada undangan
pernikahan rekan di luar kota saat hari Minggu. Dan untuk mengunjungi Ibu
mertua kami sudah merencanakan hari Senin bersamaan dengan libur cuti bersama.
Jam setengah tujuh, selesai
mencuci motor dan sarapan bersama Mas Faiz menonton tayangan berita di televisi
sambil menyesap teh hangatnya ditemani beberapa biscuit. Aku sendiri sedang
sibuk mewiwil tunas air pada krisan-krisan potku. Memang tidak mudah
membudidayakan krisan di daerah dataran rendah seperti ini. Perlu ketelatenan
untuk menyiram dan mewiwil tunas airnya jika ingin melihat bunganya tumbuh dan
berkembang dengan baik. Tapi itu lebih baik daripada membiarkan halaman rumah
kontrakanku yang sempit ini gersang tidak ada tanaman.
Selesai mewiwil aku
hendak cuci tangan dan tiba-tiba terdengar suara salam.
“Assalamu’alaykum,”
“Wa’alaykumussalam,”
jawabku dan Mas Faiz hampir bersamaan. Ternyata Ibu mertuaku.
Kulihat Mas Faiz keluar sambil membawa handuk. Mungkin tadi sudah beranjak hendak mandi.
Kulihat Mas Faiz keluar sambil membawa handuk. Mungkin tadi sudah beranjak hendak mandi.
“Loh Ibu darimana
datang kok nggak bilang-bilang, kan bisa Faiz jemput,” Mas Faiz langsung
menyerang dengan pertanyaan.
“Ini tadi Ibu ikut
senam sama ibu-ibu kelompok dawis di Lapangan Garnizun belakang kabupaten,
pulangnya Ibu tidak ikut rombongan, mampir dulu ke Pasar Suronegaran terus Ibu
kesini. Naik jalur 7 turun di Mranti.” Mertuaku menjawab dengan tenang.
“Ya kan bisa Faiz
jemput Bu di Mranti, capek kan jalan, habis senam lagi,”
“Nggak apa-apa, enak
jalan dari Mranti kesini pemandangannya sawah nggak melulu perumahan,” jawab
Ibu mertuaku sambil memasuki rumah.
“Dini, ini tadi Ibu
beli ayam kampung kesukaan Faiz, kamu masak ungkep aja ya,” Ibu mertuaku
mengangsurkan bungkusan kersek hitam. “Ungkep??” tanyaku dalam hati sambil
tetap menerima bungkusan kersek hitam itu. Agak berat batinku kalau isinya
hanya ayam kampung. Aku membawa bungkusan itu ke dapur kemudian mebuatkan Ibu
mertuaku minum.
Kembali ke ruang tamu
ternyata Ibu mertuaku tidak ada, aku melongok keluar ternyata Ibu melihat
tanaman-tanaman yang kutanam di pekarangan. “Minum dulu Bu,” tawarku
mempersilakan.
Ibu mertuaku pun masuk
dan meminum tehnya.
“Ibu sudah sarapan?”
“Sudah tadi kan juga
dapat snack habis senam.”
“Din, nanti Ibu minta
tomatmu ya!”
“Iya Bu, ambil saja, cabainya sekalian.
Sebentar Dini ambilkan wadah dulu.” Selain menanam krisan aku memang mencoba
menanam tomat cerry dan cabai, walaupun yang tumbuh dan berbuah hanya cabai
rawit karena tiap menanam cabai merah selalu mati.
Aku ke belakang
mengambil wadah yang dibutuhkan Ibu untuk memanen tomat dan cabai.
Alhamdulillah, meski hanya di tanam di polybag dengan media sekam, tomat dan
cabaiku selalu berbuah banyak. Tidak jarang tetangga sebelah aku bagi. Saat
kembali ke ruang tamu kulihat Mas Faiz sudah segar selesai mandi dan menemani
Ibu menonton televisi.
Aku mengangsurkan wadah ke Ibu kemudian
langsung kembali ke dapur. Aku membuka bungkusan yang tadi diberikan Ibu. Benar
dugaanku isinya tidak hanya ayam kampung tapi juga dua sisir pisang kepok. Aku
mengeluarkan ayamnya dan menaruh kersek berisi pisang kepok itu di bawah.
Dimasak apa tadi Ibu bilang? Ungkep?
Rasanya aku belum pernah tahu olahan ayam kampung ungkep itu seperti
apa.
Aku memang jarang
masak. Sehari-hari kami beli sayur dan lauk, hanya nasi yang masak sendiri. Sesekali
saat libur saja aku masak. Tapi itu yang simpel saja. Jarang sekali masak ayam
atau daging, toh Mas Faiz kurang suka ayam broiler. Sedangkan ayam kampung
harus mencari di pasar atau harus pesan di tukang sayur. Pernah sekali aku beli
ayam kampung. Aku masak opor, hanya itu yang aku tahu, biasanya ayam kampung
dimasak opor saat lebaran. Resepnya aku cari di internet. Hasilnya, aku sendiri
kurang suka karena alot, kurang lama memasaknya. Sejak saat itu kalau ingin
makan ayam atau daging ya lebih baik beli matang saja. Dariapada beli mentah
sudah mahal, capai mengolahnya namun hasilnya tidak enak dan enggan untuk
memakannya.
Selesai mencuci ayam
aku kembali berpikir apa itu ayam ungkep. Tanya ibu mertuaku aku malu. Searching aku sedang tidak langganan
internet. Yah! Aku harus tanya Mama. Akupun masuk kamar mengambil HP, mumpung
Ibu masih diluar pikirku. “Tuut...tuut... tuut...,” tidak diangkat. Pasti Mama
sedang jauh dari HP. Sementara kudengar ibu mertuaku sudah masuk ruang tamu.
Akupun segera mengambil bergo dan membawa kertas dan pulpen yang kukantongi di
saku rok kemudian keluar kamar.
“Loh mau kemana Din?”
tanya Ibu mertuaku.
“Ini Bu mau ke warung
ada bumbu yang kurang,” jawabku ngeles,
sebenarnya aku juga belum tahu bumbu apa saja yang dibutuhkan.
Keluar rumah aku
langsung telpon ke nomor rumah. Di saat seperti ini aku merasa beruntung rumah
kontrakanku adalah perumahan baru hasil peralihan lahan sawah yang dijadikan
pemukiman. Belakang dan depan rumahku
masih sawah, hanya samping kanan kiri saja yang rumah. Saat aku menelpon sambil
berjalan kearah warung yang menyediakan sayuran, jalanan sekitar cukup sepi jadi
aku tidak malu telpon dijalanan. Menunggu sebentar dan alhamdulillah Mama yang
langsung mengangkat.
“Mamaa..” seruku girang.
“Ya Din kenapa?” jawab
Mamaku di seberang sana keheranan
“Ayam ungkep yang
gimana si, bumbunya apa aja?
“Ayam ungkep ya ayam
direbus bumbu sebelum digoreng, itu namanya diungkep biar bumbunya meresap, ga
di freezer.”
“Terus habis direbus
bumbu cuma digoreng?”
“Ya iya, memang kamu
mau masak apa?”
“Ayam ungkep Ma,”
“Ya udah itu direbus
bumbu terus nanti digoreng, tahu bumbunya nggak?”
“Nggak Ma, apa aja?”
“Ya garam, ketumbar,
miri, kunyit, bawang putih, salam, sereh, lengkuas, jahe, dihalusin nanti kasih
air dikit direbus sama ayamnya,” Mama menyebutkan bumbu yang biasanya ada di
plastik bumbu pawon dan sedikit bumbu
lain berikut porposinya untuk sekitar dua kilo ayam.
“Udah Ma gitu aja?”
tanyaku tidak yakin. Kok sepertinya simpel sekali.
“Iya udah gitu. ”
“Oya udah, makasih ya
Ma. Nanti Andin telpon lagi. Bye Mama,” jawabku sambil menutup telpon tanpa
menunggu jawaban dari Mama.
Kalau cuma itu bumbunya
sepertinya masih ada semua batinku. Walaupun jarang masak aku selalu punya
persediaan yang lengkap. Tapi tadi aku bilang mau beli bumbu yang kurang.
Akhirnya aku tetap ke warung untuk beli bumbu pawon yang mungkin di rumah sudah banyak yang kering dan minyak goreng
kalau kurang.
Sekembalinya ke rumah
kulihat Ibu mertuaku sedang membuka-buka majalah sedang Mas Faiz sibuk memegang
remot mencari acara televisi yang menarik untuknya. Aku langsung menyiapkan
bumbu dan memasaknya seperti yang disebutkan Mama tadi. Di warung tadi aku juga
sempat membeli satu paket sayur asem.
Jam 11 aku sudah
selesai masak nasi, menggoreng ayam, memasak sayur asem dan sambal terasi.
Hanya tinggal cuci piring saja. Selesai menata di meja makan aku ke depan
memanggil Ibu dan Mas Faiz untuk makan. Sekarang gantian Mas Faiz yang membaca koran
sedang Ibu di luar ngobrol dengan tetangga sebelah. “Mas udah matang tuh, Ibu
diajak makan,” ujarku kepada Mas Faiz seraya kembali ke dapur untuk mencuci peralatan
masak.
Selesai mencuci peralatan
masak Ibu sudah masuk ke ruang makan yang jadi satu dengan dapur. “Udah
matengan Din?” tanya Ibu.
“Sudah Bu, mari makan,” ujarku melihat Mas Faiz menghampiri meja makan.
“Kamu goreng ayamnya semua tadi?” tanya Ibu
sambil mengambil sepotong dada ayam ke piring. Mas Faiz mengikuti.
“Nggak Bu, cuma
sebagian aja,” jawabku sambil memerhatikan Ibu memasukkan suwiran daging ayam
ke mulutnya. “Gimana Bu rasanya?” tanyaku agak takut.
“Ya, lumayan. Kurang
asin dikit kalau untuk lauk.” Jawab Ibu mertuaku dengan nada wajar, tidak menampakkan
kekecewaan.
“Enak kok!” tiba-tiba
Mas Faiz menyambung sambil tersenyum ke arahku.
Apa aku tidak salah
dengar? Mas Faiz bilang ayamnya enak? Selama 4 bulan menikah baru kali ini Mas
Faiz bilang masakanku enak. Blushing :”>
“Iya Andini, Faiz kurang
suka makanan bersantan, kalau ayam kampung lebih suka digoreng. Nanti kalau
kamu misal pergi keluar kota urusan sekolah atau apa Faiz ditinggalin ayam
ungkep aja, biar dia goreng sendiri.”
“Iya Bu,” jawabku patuh.
Aku memang tahu Mas Faiz kurang suka makanan bersantan. Tapi kupikir hanya
sebatas sayur seperti sayur lodeh atau bobor bayam. Tidak terpikir kalau lauk
juga tidak suka, kulihat kalau makan rendang Mas Faiz biasa saja. Atau mungkin
karena memang Mas Faiz tidak pernah mengeluh dengan makanan yang kusediakan.
Setelah makan dan
sholat dzuhur Ibu berpamitan pulang. Ibu menolak ketika aku membawakan semua
ayam yang sudah kugoreng. “Untuk kalian berdua saja Andini, Ibu di rumah sudah
ada lauk,” ujar Ibu beralasan.
“Iya Bu, terimakasih,”
jawabku sambil mengantar Ibu ke depan dan mencium tangannya.
Ibu naik di boncengan
motor Mas Faiz. Mas Faiz mengantarnya ke alun-alun untuk mendapatkan angkutan
umum ke Banyurip.
Ketika mas Faiz pulang
dari mengantar Ibu aku telah selesai mencuci piring bekas makan dan hendak
membereskan meja makan. Melihat itu Mas Faiz mencegahnya. “Jangan diberesin
dulu Dek.”
“Mas mau makan lagi?”
“Tadi mas belum makan pakai nasi, cuma gadoin ayam
sama pakai sayur asem aja sedikit,” jawab suamiku beralasan sambil mencuci
tangan.
“Masak sih?” tanyaku
tidak percaya. “Kok tadi aku tidak memerhatikan ya,” batinku heran sambil tetap
menuju rak piring untuk mengambilkan piring untuk suamiku.
“Iya,” jawabnya sambil
tersenyum sembari mengambil nasi dari magic com dengan porsi seperti biasanya.
Aku ikut duduk menemaninya makan.
“Tadi tuh Ibu
sebenarnya udah mau pulang waktu Adek belum selesai masak, tapi Mas tahan, biar
makan dulu. Makanya Mas tadi makannya belum pakai nasi biar cepat.”
Iya sih tadi Mas Faiz
memang selesai duluan terus kemudian ke masjid seingatku. “Yah berarti tadi
Adek masaknya kelamaan dong,” ujarku menyesal.
“Ya nggak apa-apa kan
baru pertama,” jawabnya sambil tersenyum menenangkan.
“Dek enak loh ayamnya, rasanya pas teksturnya juga nggak keras kayak dulu,” ujarnya memuji.
“Iya tadi kan Mas udah
bilang,” jawabku sambil mengulum senyum. *Blushing.
“Kok gak pernah
sebelumnya masak kayak gini? Uang belanja yang Mas kasih cukup kan kalau sesekali beli ayam kampung?” tanyanya sambil tetap sibuk menyendok makanannya.
Aku cuma mengulum
senyum sebagai jawaban. “Jangankan terpikir untuk buat, tahu namanya saja baru
tadi,” batinku dalam hati.
“Cukup Mas. Adek nggak terpikir aja untuk buat kayak gini,” ujarku berlebihan, padahal cuma ayam goreng saja.
“Ya besok-besok lagi
sempatin masak sendiri aja dek, pelan-pelan belajar, toh lebih enak kan,”
jawabnya masih sambil tersenyum.
“Iya. Insya Allah Mas,”
jawabku. Yup, ya wajarlah Mas Faiz jarang memuji masakanku, aku juga jarang
masak apa yang mau dipuji. Sejak saat itu aku jadi bertekad untuk lebih sering
belajar masak. Kupikir masak sendiri memang lebih melelahkan, tapi sangat
terbayar puas ketika Mas Faiz suka dengan masakanku. Apalagi kalau setelah itu dia bilang, “Dek,
boleh nambah?” #eaaaaaa :D
Minggu yang cerah, :)
Pondok Laras
20/1/2012 8.51
Untuk mendapatkan hati seorang pria kadangkala kita tidak perlu menggenggam hatinya, tapi lebih pada perut mereka. (Chie chan's friend, Hungry-2012)
Minggu yang cerah, :)
Pondok Laras
20/1/2012 8.51
ngeblog asyik juga ya... hanya dengan makanan? ckckck he
ReplyDeletene banyak banget gadgetnya caranya gmn y?
hah maksudny hanya dengan makanan?
ReplyDeleted tataletak mas. jd klo udah log in, nnti dkanan atas ada desain d klik trs nnti ada tata letak.
itu cerpennya.. dengan makanan he
ReplyDeleteok2.. bisa dicoba
bru ngeh... dapat kolam ikan ma ikannya :D
ReplyDelete